BAAYUN ANAK
BAAYUN ANAK
(Tradisi Khas Bubuhan Banjar Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW)
(Tradisi Khas Bubuhan Banjar Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW)
Baayun anak adalah tradisi ibu-ibu masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Mereka menidurkan anak bayinya dengan cara mengayun-ayunkannya. Tradisi ini telah berlangsung sejak zaman dahulu sampai sekarang. Ayunan itu terbuat dari tapih bahalai atau kain kuning dengan ujung-ujungnya diikat dengan tali haduk (ijuk). Ayunan ini biasanya digantungkan pada penyangga plapon di ruang tengah rumah. Pada tali tersebut biasanya diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, katupat guntur, dengan maksud dan tujuan sebagai penangkal jin (mahluk halus) atau penyakit yang mengganggu bayi. Posisi bayi yang diayun ada yang dibaringkan dan ada pula posisi duduk dengan istilah “dipukung”.
Mengayun anak ini ada yang mengayun biasa dan ada yang badundang. Mengayun biasa adalah mengayun dengan berayun lepas sedang mengayun badundang adalah mengayun dengan memegang tali ayunan. Yang lebih menarik adalah menidurkan anak ini sang ibu sambil bernyanyi, bernyanyi dengan suara merdu berayun-ayun atau mendayu-dayu. Lirik lagu ini sangat puitis. Liriknya seperti ini:
Guring – guring anakku guring..Guring diakan dalam pukungan..Anakku nang bungas lagi bauntung..Hidup baiman mati baiman..
Jika anaknya posisi berbaring lirik ‘pukungan’ diganti dengan ‘ayunan’. Isi lirik ini adalah pujian anaknya yang cantik (cakap) dan doa agar anaknya kelak kuat imannya dalam agama sampai akhir hayatnya. Seandainya anaknya masih rewel tidak juga mau tidur, biasanya sang ibu berkata:
“His ! cacak ! anakku jangan diganggu inya sudah guring”.
Baayun anak ini terkadang sengaja diadakan pada acara Maulid Nabi yakni tanggal 12 Rabiul Awal. Dengan maksud agar mendapat berkah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada perkembangannya, maayun anak ini menjadi sebuah tradisi budaya yang setiap tahun digelar dengan istilah “ Baayun Maulud” Baayun Maulud ini sungguh berisi pesan-pesan religiusitas, filosofis dan local wisdom (Kearifan local).
Menurut tatuha Banjar, upacara ini sebenarnya telah dikenal masyarakat Banjar sejak berdirinya Kerjaan Banjar. Dahulu upacara ini hanya diperuntukan pada anak-anak dari keluarga besar kerajaan yang lahir di bulan Safar. Mereka melaksanakan upacara ini dikarenakan bulan Safar dipercaya sebagai bulan yang penuh bala. Oleh karena itu untuk menghindari tertimpanya bala pada anak tersebut, maka sang anak wajib diayun sebagai bentuk ritual tolak bala. Namun belakangan, upacara ini juga populer di kalangan masyarakat kebanyakan, khususnya orang Banjar yang berada di daerah hulu sungai. Peruntukan upacara ini tidak lagi hanya bagi anak lahir di bulan Safar tapi juga pada anak-anak yang lahir di bulan-bulan lainnya.
Biasanya upacara baayun anak ini dilaksanakan di rumah-rumah atau di balai desa, tetapi belakangan dilaksanakan di ruang utama mesjid supaya pelaksanaannya secara bersama-sama dalam jumlah yang banyak pula.
Pada acara Baayun Anak ini, tiap ayunan dibuat dari tiga lapis kain, yakni kain kuning pada bagian luar, kemudian kain putih dan bagian dalam tapih bahalai (sarung panjang wanita bercorak batik). Sementara tali pengikat ayunan tersebut dihiasi janur dan anyaman kembang. Tidak kurang dari sembilan jenis janur yang menghiasi tali pengikat ayunan tersebut. Ada yang berbentuk burung, bunga, lipan, rantai, dan sebagainya. Selain itu, disetiap ayunan itu sendiri terdapat nama anak yang menempati ayunan tersebut.
Di bawah jajaran ayunan-ayunan tersebut, masing-masingnya terdapat “syarat” upacara yang dibuat dalam dua bentuk yang setelah acara selesai boleh dibawa pulang. Masyarakat Banjar biasa menyebutnya sebagai “piduduk”. Bentuk yang tersaji dalam piring makan diisi dengan lakatan (nasi ketan), kue apam, kue cucur, inti kelapa, telur ayam rebus, papari, pisang, dan tape ketan. Sedangkan yang tersaji dalam ember ukuran kecil diisi dengan beras, buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya, sebungkus garam, dan gula merah. Sementara di setiap tiang utama mesjid diletakan “piduduk” pada dua buah piring makan, yaitu berisi beras ketan putih yang di tengah-tengahnya dihiasi dengan inti kelapa. Piring satunya berisi beras kuning yang di tengah-tengahnya juga diletakkan inti kelapa.
Jamaahnya sendiri yang menghadiri dan menyaksikan acara tersebut memadati bagian sisi jajaran ayunan tersebut. Khusus jamaah laki-laki berjajar pada bagian depan ruang utama mesjid, tepatnya di barisan depan jajaran ayunan. Sedangkan jamaah perempuan berada di sisi kiri-kanan dan belakang ayunan.
Prosesi acara ini dimulai dengan pembacaan Syair Maulid yang dipimpin oleh seorang Tuan Guru (Ulama) dengan diiringi irama tetabuhan rebana. Syair-syair Maulid yang umum dibawakan pada acara Baayun Anak seperti Syair Mawlud Barjanzi, Mawlud Syaraf al-Anam atau Mawlud al-Dayba’i. Pada saat Syair-syair tersebut dibacakan, tepatnya memasuki kalimat “asyraqal”, ada kepercayaan dari orang-orang yang suka membaca kalimat itu adalah saat hadirnya ruh Nabi Muhammad di tengah-tengah jamaah. Mereka percaya bahwa ruh Nabi Muhammad hadir dalam rangka menebar keberkahan bagi mereka yang hadir. Biasanya pada saat kalimat itu dibacakan, semua jamaah langsung berdiri sebagai simbol penghormatan atas kehadiran ruh Nabi Muhammad SAW.
Pada saat moment pembacaan kalimat “asyraqal” itu, kekhusyu’an tampak sekali pada ibu-ibu pemilik anak yang sedang diayun itu. Mereka begitu khidmat ikut melantunkan kalimat-kalimat itu sambil mengangkat anaknya ke pangkuan. Pada saat yang bersamaan, Tuan Guru yang memimpin pembacaan Syair Maulud berjalan ke arah ibu-ibu untuk memberikan “tapung tawar” pada masing-masing anak tersebut.
Tapung tawar adalah tahap prosesi dalam memberi berkat dari acara tersebut dengan mengusap jidat setiap anak dan mencipratinya dengan air khusus yang biasanya disebut dengan air “tutungkal” yang terdiri dari campuran air, minyak buburih, dan rempah-rempah. Setelah selesai prosesi ini, jamaah duduk dan ditutup dengan pembacaan do’a yaitu do’a khatam al-mawlud. Selanjutnya dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran dan ceramah yang disampaikan oleh seorang da’i. Setelah semua rangkaian acara dilaksanakan, biasanya ditutup dengan acara makan bersama.
Selesai prosesi Baayun Anak, terasa ada kelapangan di hati masing-masing jamaah karena telah menunaikan kebiasaan adat turun-temurun mereka tanpa harus bersitegang dengan keyakinan religius yang mereka anut. Keharmonisan adat dengan agama tampak sekali dalam upacara tersebut.
Komentar
Posting Komentar